Abu Bakar Al-Bazzaz.
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad bin Abdulah bin
Muhammad bin Abdurrahman bin Rabi’ bin Tsabit bin Wahb bin Masyja’ah bin Harits
bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik Al-Anshari Al-Ka’bi Al-Baghdadi Al-Bashri
Al-Bazzaz, Al-Qadhi Abu Bakar bin Abu Thahir.
Ayahnya bernama Abu
Thahir Abdul Baqi (w. 461 H), salah satu pembesar penduduk Baghdad, yang
terkenal sebagai seorang syaikh yang shalih dan muhaddits.
Tokoh kali ini adalah
putra Abu Thahir yaitu Al-Bazzaz, atau terkenal dengan sebutan Abu Bakar. Ia
lahir pada hari Selasa, 10 Shafar 442 H, dan sudah hafal Al-Qur’an saat berusia
7 tahun.
Karena terlahir dalam
komunitas para pecinta ilmu, dan keluarga ahli ilmu, Abu Bakar tumbuh menjadi
lelaki yang menguasai berbagai bidang ilmu, dan memiliki banyak karya.
Kecintaan yang
sedemikian dalam terhadap ilmu bisa dilihat dari antusiasmenya dalam
mempelajari bahasa asing. Kisahnya bermula ketika ia ditawan oleh orang-orang
romawi. Selama satu setengah tahun, ia terpenjara dalam penjara, dan selama
lima bulan lamanya, lehernya dibelenggu, kedua tangan dan kedua kakinya
dirantai. Mereka memaksanya untuk mengucapkan kekata kekufuran, “Katakanlah,
“Al-Masih adalah anak Allah.”! sehingga kami akan membebaskanmu,” paksa mereka.
Namun Abu Bakar enggan memenuhi permintaan mereka. Baginya, lebih baik mati
daripada mengucapkan kekata kekufuran. Setelah itu, masih pada saat dipenjara,
Abu Bakar menyaksikan ada yang mengajarkan tulisan romawi kepada anak-anak
romawi, dan ia mempelajari itu semua dalam keadaan tertawan. Ketika ia berada
dalam penjara.
Subhanallah…,
Ibnu As-Sam’ani bahkan
sampai memuji, “Beliau tahu berbagai ilmu, ahli sastra, oratoris, cakap
berbicara dan suka berdiskusi.”
Pengakuan menakjubkan
pernah terlontarkan dari lisan Abu Bakar sendiri, melalui riwayat Ibnu
As-Sam’ani, “Mâ dhayya`tu
sâ`atan min `umrî fî lahwin aw la`bin, aku tidak pernah
menyia-nyiakan sesaat dari umurku dengan senda gurau dan main-main.”
Ada kisah menakjubkan
yang pernah dialami oleh Abu Bakar. Kisah yang terjadi pada abad 5 Hijriyah itu
bisa jadi hanya akan menjadi sejarah saja, padahal ia mengandung pelajaran
berharga nan mulia, bila tidak tertuliskan secara bersanad dalam sebuah kitab.
Tentu ini berkat jasa para ulama’ yang mengabadikan rekam jejak generasi salaf
dalam buku-buku mereka. Dzaylu
Thabaqâtil Hanâbilah karya Ibnu Rajab adalah salah satu contohnya.
Ya, kisah Abu Bakar
Al-Bazzaz ini tertulis di dalam kitab Dzaylu
Thabaqâtil Hanâbilah karya Ibnu Rajab, dengan perawi Syaikh Shalih
Abul Qasim Abdullah bin Abul Fawaris Muhammad bin Ali bin Hasan Al Bazzaz yang
mendengar langsung dari Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad
Al-Bazzaz Al-Anshari sendiri. Berikut kisah ringkasnya,
Dulu, Abu Bakar hidup
di Mekah. Pada suatu hari, ia merasakan kelaparan yang amat sangat. Tidak ada
bekal yang ia punyai untuk mengganjal perutnya. Lapar. Sangat lapar sekali.
Ketika sedang
berjalan-jalan ke luar rumah, ia menemukan sebuah kantong dari sutera yang
ditali dengan tali sutera juga. Karena tidak ada siapa-siapa, ia mengambil
kantong tersebut dan membawanya pulang. Ia mengurai talinya, dan mendapati
kalung yang terbuat dari permata. Kalung sedemikian indah itu belum pernah ia
lihat sebelumnya. Ah, pasti sangat mahal harganya, demikian kekata hatinya. Ia
masih terus saja memperhatikan kalung tersebut seolah tak percaya. Menakjubkan.
Tetapi, ketika keluar
dari rumah, tiba-tiba saja ada seorang kakek yang mengumumkan berita kehilangan,
dan membawa buntalan uang yang berisi 500 Dinar [1 dinar=10 dirham, 1 dinar
setara –sebagaimana pendapat jumhur ulama’ dengan 4,25 gram emas, jadi kalau
sekarang satu gram emas seharga 400.000 rupiah -misalnya-, maka 1 dinar seharga
1.700.000 rupiah. Jadi, 500 dinar pada saat ini –dengan estimasi harga satu
gram emas sekarang senilai 400.000 rupiah- seharga 850.000.000 atau 850 juta.
Subhanallah, angka yang fantastis!].
Kakek tersebut akan
memberikan buntalan uang berisi 500 dinar atau senilai 850 juta tersebut kepada
sesiapa yang berhasil menemukan kantong yang berisi kalung permata.
Tatkala mendengar
pengumuman tersebut, Abu Bakar Al-Bazzaz berkata dalam hati, “Aku sedang membutuhkan, dan aku pun
tengah kelaparan, biarlah aku mengambil imbalannya dan memanfaatkannya, dan aku
mengembalikan kantong tersebut.”
Abu Bakar mendatangi
kakek tersebut, dan memintanya untuk datang ke rumahnya seraya meminta untuk
menyebutkan cirri-ciri kantong tersebut. Abu Bakar terperanjat. Kakek tersebut
memang pemilik kantong yang barusan ia temukan. Pasalnya, kakek itu tahu persis
ciri kantong tersebut beserta isinya berupa kalung dari permata dan jumlahnya,
tali yang dipergunakan untuk menali kantong itu juga diketahuinya.
Akhirnya, karena yakin
bahwa kakek itulah sang pemilik kantong tersebut, Abu Bakar mengambilnya, dan
menyerahkan kepada kakek tersebut. Kemudian, sang kakek hendak menyerahkan
buntalan uang berisi 500 dinar yang tadi sudah dijanjikan kepada Abu Bakar,
tetapi ia justru enggan mengambilnya, bahkan malah berkata dengan kekata yang
menakjubkan, kekata seorang ahli ilmu yang menunjukkan kedalaman ilmunya,
“Sudah wajib bagi saya untuk mengembalikan kantong ini kepada Anda, dan saya
tidak mau mengambil upahnya.”
Kakek itu pun
menjawab, “Lâ budda laka an
ta’khudza, tidak, kamu harus mengambilnya!” ia mengulang-ulang
kekata itu dan mendesak agar Abu Bakar menerimanya, tetapi tetap saja,
sekalipun sangat membutuhkan bahkan sedang kelaparan, Abu Bakar menolak
pemberian sang kakek. Akhirnya, karena tidak berhasil mendesak lagi, kakek
tersebut meninggalkan Abu Bakar. Tetapi ia pergi dengan meninggalkan rasa
takjub yang luar biasa. Pemuda shalih, kata dalam hatinya. Entah, bagaimana
suasana hatinya pada saat itu, yang jelas ia justru merasa berhutang budi
kepada pemuda yang baik hati itu.
Sementara itu, setelah
kejadian penemuan kalung permata itu, pada suatu ketika, Abu Bakar keluar dari
Mekah dengan menaiki kapal, mengarungi lautan. Di tengah lautan, gelombang
datang bertubi-tubi dengan dahsyatnya. Kapal pecah, dan banyak penumpang yang
tenggelam. Begitu pula dengan harta-harta mereka. Sementara Abu Bakar selamat,
ia masih hidup karena memegangi pecahan kapal yang tenggelam tersebut. Selama
beberapa saat, ia berada di tengah-tengah lautan, tidak tahu ia tengah berada
di mana dan mau kemana?
Setelah
terombang-ambing oleh gelombang lautan, ia terdampar di sebuah pulau yang
dihuni oleh sebuah kaum. Sesampainya di sana, Abu Bakar mendatangi masjid, lalu
membaca Al-Qur’an….,
Tiba-tiba saja…, semua
orang mengerumuninya, mereka tertakjub dengan bacaan Abu Bakar. Mereka meminta
agar diajari Al-Qur’an. Karena privat mengajarkan baca Al-Qur’an inilah, ia
mendapatkan banyak rizki.
Suatu ketika, Abu
Bakar melihat ada lembaran-lembaran dari mushhaf di dalam masjid. Ia mengamati,
mengambil dan membacanya. Ketika melihat Abu Bakar membaca, penduduk pulau
tersebut bertanya, “Apakah Anda mahir menulis?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Lalu
mereka berbondong-bondong datang dengan membawa putra-putri mereka untuk
diajari tulis-menulis, tak ketinggalan para pemudanya. Dari hasil mengajar
tulis-menulis ini, Abu Bakar lagi-lagi mendapat rizki yang tidak diduganya.
Alhamdulillah, ucap hatinya berkali-kali. Betapa maha pemurah dan dermawannya
Allah Ta’ala, sang pemilik perbendaharaan langit dan bumi. Betapa mudahnya
Allah memberikan rizki, kepada sesiapa saja yang Dia kehendaki.
Selesai mengajar,
mereka mendatangi Abu Bakar sembari berkata, “Sesungguhnya di tengah-tengah
kami ada seorang gadis yatim, dan dia memiliki ‘secuil’ dunia, kami ingin anda
berkenan menikahinya.” Yah, kalau kita menggunakan bahasa sekarang ya, “Ustadz-ustadz, di sini ada gadis
yang berharta dan keturunan orang ternama di desa ini, kaifa?”
tetapi Abu Bakar menolak, ia enggan menikahi gadis tersebut, khawatir
pernikahannya semata-mata karena gadis tersebut kaya. Tetapi mereka memaksa dan
berkata, “Lâ bal, tidak…
pokoknya Anda harus menikahinya.” Titik. Karena tidak bisa menolak, akhirnya
tawaran mereka diterima juga. Bagaimana lagi? Sudah rizkinya, ucap hati Abu
Bakar lagi.
Ketika resepsi acara
pernikahan berlangsung, kedua mata Abu Bakar tertuju kepada kalung permata yang
dikenakan di leher gadis mempelai, wanita yang sebentar lagi menjadi istrinya.
Ia terkaget. Kalung permata itu? seolah ia pernah melihatnya, tapi di mana dan kapankah?
Oh iya, kalung permata itu adalah kalung milik si kakek yang dulu pernah ia
temukan. Ia hamper melonjak-lonjak karena riang sekali hatinya. Lama sekali ia
memandangi kalung permata itu, sementara orang sepulau yang menghadiri resepsi
pernikahan melihat mata Abu Bakar yang hanya memperhatikan kalung, bukan si
mempelai perempuan. Mereka pun mengingatkan, “Wahai
Syaikh, Anda menghancurkan hati gadis yatim ini karena Anda hanya melihat
kalungnya, dan tidak melihatnya.”
Ditegur seperti itu,
Abu Bakar menceritakan kisahnya dulu; ketika ia dalam keadaan membutuhkan dan
kelaparan, lalu menemukan kantong berisi kalung mutiara, dan pertemuan dengan
si kakek yang menjanjikan upah 500 dinar kepadanya, tetapi ia menolaknya.
Mendengar kisahnya,
penduduk pulau tersebut berteriak. Suara mereka bergemuruh. Terdengar pekikan
takbir dan tahlil yang memenuhi ruangan resepsi pernikahan, hingga berita ini
menyebar ke seluruh penduduk pulau itu, tanpa terkecuali. Mereka begitu
bahagia.
Abu Bakar Al-Bazzar pun bertanya keheranan, “Mâ bikum, hei…,
apa-apaan ini?” ia terheran-heran dengan euforia penduduk setempat setelah
mendengar kisahnya, seolah mereka memenangi piala dunia karena saking
bahagianya.
Mereka kemudian
mendudukkan Abu Bakar yang dianggapnya sebagai seorang syaikh yang sangat
mereka hormati itu. “Begini” kata salah satu dari mereka sebagai duta bercerita
untuk menjelaskan duduk permasalahannya, “sebenarnya, kakek yang dulu
mengambil dan memiliki kalung permata dari Anda itu adalah….” Kata itu
terputus. Ia melanjutkan lagi setelah menahan nafas sejenak untuk mengheningkan
cipta sembari menoleh kepada Abu Bakar dan orang-orang di sekitarnya, “…adalah
ayah dari gadis yang sekarang Anda nikahi ini.”
“Dulu, ayah gadis ini
memuja-muji Anda setelah kejadian paling bersejarah itu. Beliau takjub dengan
sikap Anda, sampai-sampai beliau berlebihan dalam berkata, “Mâ fi d-dunyâ illâ hâdza l-ladzî
radda `alayya hâdza l-`aqda, di dunia ini tidak ada pemuda muslim
shalih yang berhati mulia selain orang yang mengembalikan kalung ini.”
“Bahkan, beliau pernah
berdoa, “Allâhumma jma`
baynî wa baynahu hattâ uzawwijahu bi ibnatî, ya Allah, kumpulkanlah
aku dengan pemuda itu hingga aku menikahkannya dengan putriku.” Dan
sekarang doanya betul-betul dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla.” Cerita yang
disampaikan oleh duta itu sampai di sini. Kiranya begitu, kata hati Abu Bakar.
Pantas saja, sedemikian bahagianya mereka, ternyata gadis yang dinikahinya itu
adalah putri dari orang terpandang, shalih dan kaya di pulau itu.
Semenjak pernikahan
Abu Bakar dengan gadis yatim itu, ia tinggal di sana selama beberapa waktu, dan
dikaruniai dua orang anak, kemudian istrinya meninggal dan ia mewarisi kalung
permata dan juga dua anaknya. Tidak lama berselang, kedua anaknya meninggal
dunia, sehingga kalung itu menjadi milik Abu Bakar, dan dijual dengan harga
100.000 dinar (sekira 170.000.000.000 rupiah atau 170 miliar. Wow!). Kisah ini
selesai di sini.
Tentang kisah ini,
Ibnu Najjar di dalam kitab tarikhnya berkomentar, “Hiya hikâyatun `ajîbatun, kisahnya
ajaib!.”
Akhukum fillah, Ibnu
Abdil Bari el `Afifi.