Senin, 10 Oktober 2011

Kisah Ajaib


Abu Bakar Al-Bazzaz. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad bin Abdulah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Rabi’ bin Tsabit bin Wahb bin Masyja’ah bin Harits bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik Al-Anshari Al-Ka’bi Al-Baghdadi Al-Bashri Al-Bazzaz, Al-Qadhi Abu Bakar bin Abu Thahir.
Ayahnya bernama Abu Thahir Abdul Baqi (w. 461 H), salah satu pembesar penduduk Baghdad, yang terkenal sebagai seorang syaikh yang shalih dan muhaddits.
Tokoh kali ini adalah putra Abu Thahir yaitu Al-Bazzaz, atau terkenal dengan sebutan Abu Bakar. Ia lahir pada hari Selasa, 10 Shafar 442 H, dan sudah hafal Al-Qur’an saat berusia 7 tahun.
Karena terlahir dalam komunitas para pecinta ilmu, dan keluarga ahli ilmu, Abu Bakar tumbuh menjadi lelaki yang menguasai berbagai bidang ilmu, dan memiliki banyak karya.
Kecintaan yang sedemikian dalam terhadap ilmu bisa dilihat dari antusiasmenya dalam mempelajari bahasa asing. Kisahnya bermula ketika ia ditawan oleh orang-orang romawi. Selama satu setengah tahun, ia terpenjara dalam penjara, dan selama lima bulan lamanya, lehernya dibelenggu, kedua tangan dan kedua kakinya dirantai. Mereka memaksanya untuk mengucapkan kekata kekufuran, “Katakanlah, “Al-Masih adalah anak Allah.”! sehingga kami akan membebaskanmu,” paksa mereka. Namun Abu Bakar enggan memenuhi permintaan mereka. Baginya, lebih baik mati daripada mengucapkan kekata kekufuran. Setelah itu, masih pada saat dipenjara, Abu Bakar menyaksikan ada yang mengajarkan tulisan romawi kepada anak-anak romawi, dan ia mempelajari itu semua dalam keadaan tertawan. Ketika ia berada dalam penjara. Subhanallah…,
Ibnu As-Sam’ani bahkan sampai memuji, “Beliau tahu berbagai ilmu, ahli sastra, oratoris, cakap berbicara dan suka berdiskusi.”
Pengakuan menakjubkan pernah terlontarkan dari lisan Abu Bakar sendiri, melalui riwayat Ibnu As-Sam’ani, “Mâ dhayya`tu sâ`atan min `umrî fî lahwin aw la`bin, aku tidak pernah menyia-nyiakan sesaat dari umurku dengan senda gurau dan main-main.”
Ada kisah menakjubkan yang pernah dialami oleh Abu Bakar. Kisah yang terjadi pada abad 5 Hijriyah itu bisa jadi hanya akan menjadi sejarah saja, padahal ia mengandung pelajaran berharga nan mulia, bila tidak tertuliskan secara bersanad dalam sebuah kitab. Tentu ini berkat jasa para ulama’ yang mengabadikan rekam jejak generasi salaf dalam buku-buku mereka. Dzaylu Thabaqâtil Hanâbilah karya Ibnu Rajab adalah salah satu contohnya.
Ya, kisah Abu Bakar Al-Bazzaz ini tertulis di dalam kitab Dzaylu Thabaqâtil Hanâbilah karya Ibnu Rajab, dengan perawi Syaikh Shalih Abul Qasim Abdullah bin Abul Fawaris Muhammad bin Ali bin Hasan Al Bazzaz yang mendengar langsung dari Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi bin Muhammad Al-Bazzaz Al-Anshari sendiri. Berikut kisah ringkasnya,
Dulu, Abu Bakar hidup di Mekah. Pada suatu hari, ia merasakan kelaparan yang amat sangat. Tidak ada bekal yang ia punyai untuk mengganjal perutnya. Lapar. Sangat lapar sekali.
Ketika sedang berjalan-jalan ke luar rumah, ia menemukan sebuah kantong dari sutera yang ditali dengan tali sutera juga. Karena tidak ada siapa-siapa, ia mengambil kantong tersebut dan membawanya pulang. Ia mengurai talinya, dan mendapati kalung yang terbuat dari permata. Kalung sedemikian indah itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Ah, pasti sangat mahal harganya, demikian kekata hatinya. Ia masih terus saja memperhatikan kalung tersebut seolah tak percaya. Menakjubkan.
Tetapi, ketika keluar dari rumah, tiba-tiba saja ada seorang kakek yang mengumumkan berita kehilangan, dan membawa buntalan uang yang berisi 500 Dinar [1 dinar=10 dirham, 1 dinar setara –sebagaimana pendapat jumhur ulama’ dengan 4,25 gram emas, jadi kalau sekarang satu gram emas seharga 400.000 rupiah -misalnya-, maka 1 dinar seharga 1.700.000 rupiah. Jadi, 500 dinar pada saat ini –dengan estimasi harga satu gram emas sekarang senilai 400.000 rupiah- seharga 850.000.000 atau 850 juta. Subhanallah, angka yang fantastis!].
Kakek tersebut akan memberikan buntalan uang berisi 500 dinar atau senilai 850 juta tersebut kepada sesiapa yang berhasil menemukan kantong yang berisi kalung permata.
Tatkala mendengar pengumuman tersebut, Abu Bakar Al-Bazzaz berkata dalam hati, “Aku sedang membutuhkan, dan aku pun tengah kelaparan, biarlah aku mengambil imbalannya dan memanfaatkannya, dan aku mengembalikan kantong tersebut.”
Abu Bakar mendatangi kakek tersebut, dan memintanya untuk datang ke rumahnya seraya meminta untuk menyebutkan cirri-ciri kantong tersebut. Abu Bakar terperanjat. Kakek tersebut memang pemilik kantong yang barusan ia temukan. Pasalnya, kakek itu tahu persis ciri kantong tersebut beserta isinya berupa kalung dari permata dan jumlahnya, tali yang dipergunakan untuk menali kantong itu juga diketahuinya.
Akhirnya, karena yakin bahwa kakek itulah sang pemilik kantong tersebut, Abu Bakar mengambilnya, dan menyerahkan kepada kakek tersebut. Kemudian, sang kakek hendak menyerahkan buntalan uang berisi 500 dinar yang tadi sudah dijanjikan kepada Abu Bakar, tetapi ia justru enggan mengambilnya, bahkan malah berkata dengan kekata yang menakjubkan, kekata seorang ahli ilmu yang menunjukkan kedalaman ilmunya, “Sudah wajib bagi saya untuk mengembalikan kantong ini kepada Anda, dan saya tidak mau mengambil upahnya.”
Kakek itu pun menjawab, “Lâ budda laka an ta’khudza, tidak, kamu harus mengambilnya!” ia mengulang-ulang kekata itu dan mendesak agar Abu Bakar menerimanya, tetapi tetap saja, sekalipun sangat membutuhkan bahkan sedang kelaparan, Abu Bakar menolak pemberian sang kakek. Akhirnya, karena tidak berhasil mendesak lagi, kakek tersebut meninggalkan Abu Bakar. Tetapi ia pergi dengan meninggalkan rasa takjub yang luar biasa. Pemuda shalih, kata dalam hatinya. Entah, bagaimana suasana hatinya pada saat itu, yang jelas ia justru merasa berhutang budi kepada pemuda yang baik hati itu.
Sementara itu, setelah kejadian penemuan kalung permata itu, pada suatu ketika, Abu Bakar keluar dari Mekah dengan menaiki kapal, mengarungi lautan. Di tengah lautan, gelombang datang bertubi-tubi dengan dahsyatnya. Kapal pecah, dan banyak penumpang yang tenggelam. Begitu pula dengan harta-harta mereka. Sementara Abu Bakar selamat, ia masih hidup karena memegangi pecahan kapal yang tenggelam tersebut. Selama beberapa saat, ia berada di tengah-tengah lautan, tidak tahu ia tengah berada di mana dan mau kemana?
Setelah terombang-ambing oleh gelombang lautan, ia terdampar di sebuah pulau yang dihuni oleh sebuah kaum. Sesampainya di sana, Abu Bakar mendatangi masjid, lalu membaca Al-Qur’an….,
Tiba-tiba saja…, semua orang mengerumuninya, mereka tertakjub dengan bacaan Abu Bakar. Mereka meminta agar diajari Al-Qur’an. Karena privat mengajarkan baca Al-Qur’an inilah, ia mendapatkan banyak rizki.
Suatu ketika, Abu Bakar melihat ada lembaran-lembaran dari mushhaf di dalam masjid. Ia mengamati, mengambil dan membacanya. Ketika melihat Abu Bakar membaca, penduduk pulau tersebut bertanya, “Apakah Anda mahir menulis?” Abu Bakar menjawab, “Ya.” Lalu mereka berbondong-bondong datang dengan membawa putra-putri mereka untuk diajari tulis-menulis, tak ketinggalan para pemudanya. Dari hasil mengajar tulis-menulis ini, Abu Bakar lagi-lagi mendapat rizki yang tidak diduganya. Alhamdulillah, ucap hatinya berkali-kali. Betapa maha pemurah dan dermawannya Allah Ta’ala, sang pemilik perbendaharaan langit dan bumi. Betapa mudahnya Allah memberikan rizki, kepada sesiapa saja yang Dia kehendaki.
Selesai mengajar, mereka mendatangi Abu Bakar sembari berkata, “Sesungguhnya di tengah-tengah kami ada seorang gadis yatim, dan dia memiliki ‘secuil’ dunia, kami ingin anda berkenan menikahinya.” Yah, kalau kita menggunakan bahasa sekarang ya, “Ustadz-ustadz, di sini ada gadis yang berharta dan keturunan orang ternama di desa ini, kaifa?” tetapi Abu Bakar menolak, ia enggan menikahi gadis tersebut, khawatir pernikahannya semata-mata karena gadis tersebut kaya. Tetapi mereka memaksa dan berkata, “Lâ bal, tidak… pokoknya Anda harus menikahinya.” Titik. Karena tidak bisa menolak, akhirnya tawaran mereka diterima juga. Bagaimana lagi? Sudah rizkinya, ucap hati Abu Bakar lagi.
Ketika resepsi acara pernikahan berlangsung, kedua mata Abu Bakar tertuju kepada kalung permata yang dikenakan di leher gadis mempelai, wanita yang sebentar lagi menjadi istrinya. Ia terkaget. Kalung permata itu? seolah ia pernah melihatnya, tapi di mana dan kapankah? Oh iya, kalung permata itu adalah kalung milik si kakek yang dulu pernah ia temukan. Ia hamper melonjak-lonjak karena riang sekali hatinya. Lama sekali ia memandangi kalung permata itu, sementara orang sepulau yang menghadiri resepsi pernikahan melihat mata Abu Bakar yang hanya memperhatikan kalung, bukan si mempelai perempuan. Mereka pun mengingatkan, “Wahai Syaikh, Anda menghancurkan hati gadis yatim ini karena Anda hanya melihat kalungnya, dan tidak melihatnya.”
Ditegur seperti itu, Abu Bakar menceritakan kisahnya dulu; ketika ia dalam keadaan membutuhkan dan kelaparan, lalu menemukan kantong berisi kalung mutiara, dan pertemuan dengan si kakek yang menjanjikan upah 500 dinar kepadanya, tetapi ia menolaknya.
Mendengar kisahnya, penduduk pulau tersebut berteriak. Suara mereka bergemuruh. Terdengar pekikan takbir dan tahlil yang memenuhi ruangan resepsi pernikahan, hingga berita ini menyebar ke seluruh penduduk pulau itu, tanpa terkecuali. Mereka begitu bahagia.
Abu Bakar Al-Bazzar pun bertanya keheranan, “Mâ bikum, hei…, apa-apaan ini?” ia terheran-heran dengan euforia penduduk setempat setelah mendengar kisahnya, seolah mereka memenangi piala dunia karena saking bahagianya.
Mereka kemudian mendudukkan Abu Bakar yang dianggapnya sebagai seorang syaikh yang sangat mereka hormati itu. “Begini” kata salah satu dari mereka sebagai duta bercerita untuk menjelaskan duduk permasalahannya, “sebenarnya, kakek  yang dulu mengambil dan memiliki kalung permata dari Anda itu adalah….” Kata itu terputus. Ia melanjutkan lagi setelah menahan nafas sejenak untuk mengheningkan cipta sembari menoleh kepada Abu Bakar dan orang-orang di sekitarnya, “…adalah ayah dari gadis yang sekarang Anda nikahi ini.”
“Dulu, ayah gadis ini memuja-muji Anda setelah kejadian paling bersejarah itu. Beliau takjub dengan sikap Anda, sampai-sampai beliau berlebihan dalam berkata, “Mâ fi d-dunyâ illâ hâdza l-ladzî radda `alayya hâdza l-`aqda, di dunia ini tidak ada pemuda muslim shalih yang berhati mulia selain orang yang mengembalikan kalung ini.”
“Bahkan, beliau pernah berdoa, “Allâhumma jma` baynî wa baynahu hattâ uzawwijahu bi ibnatî, ya Allah, kumpulkanlah aku dengan pemuda itu hingga aku menikahkannya dengan putriku.”  Dan sekarang doanya betul-betul dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla.” Cerita yang disampaikan oleh duta itu sampai di sini. Kiranya begitu, kata hati Abu Bakar. Pantas saja, sedemikian bahagianya mereka, ternyata gadis yang dinikahinya itu adalah putri dari orang terpandang, shalih dan kaya di pulau itu.
Semenjak pernikahan Abu Bakar dengan gadis yatim itu, ia tinggal di sana selama beberapa waktu, dan dikaruniai dua orang anak, kemudian istrinya meninggal dan ia mewarisi kalung permata dan juga dua anaknya. Tidak lama berselang, kedua anaknya meninggal dunia, sehingga kalung itu menjadi milik Abu Bakar, dan dijual dengan harga 100.000 dinar (sekira 170.000.000.000 rupiah atau 170 miliar. Wow!). Kisah ini selesai di sini.
Tentang kisah ini, Ibnu Najjar di dalam kitab tarikhnya berkomentar, Hiya hikâyatun `ajîbatun, kisahnya ajaib!.”
Akhukum fillah, Ibnu Abdil Bari el `Afifi.

Tidak ada komentar: