Rosulullah: “orang yang merasakan manisnya iman adalah orang yang ridho ALLAH sebagai Tuhan. Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Rosul.” (HR. Muslim: 34).
Jumat, 20 Juli 2012
menghias hati dengan menangis
“Andai kalian
mengetahui apa yang aku ketahui, nescaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak
menangis.” (Bukhari dan Muslim)
Indahnya hidup dengan celupan iman. Saat itulah
terasa bahwa dunia bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang
ada di depan mata. Semuanya teramat kecil dibanding dengan balasan dan siksa
Allah swt.
Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di
pundak orang lain
Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa
dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun.
Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan
dan keburukan akan kembali ke pelakunya.
Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam surah
Al-An’am ayat 164. “…Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”
Lalu, pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang
telah kita lakukan. Seberapa banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan,
hitungannya tak beda dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan,
jauh lebih banyak lagi. Masihkah kita merasa aman dengan mutu diri seperti itu.
Belumkah tersadar kalau tak seorang pun mampu menjamin bahwa esok kita belum
berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun bisa yakin bahwa
esok ia masih bisa beramal. Belumkah tersadar kalau kelak masing-masing kita
sibuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan.
Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan
Yang Maha Agung
Di antara keindahan iman adalah anugerah
pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang
hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa
apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik
orang lain. Apa yang kita dapatkan pun tak lebih dari anugerah Allah yang tersalur
lewat lingkungan.
Kita pandai karena orang tua menyekolah kita.
Seperi itulah sunnatullah yang menjadi kelaziman bagi setiap orang tua.
Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal dari warisan orang tua atau karena
berkah lingkungan yang lagi-lagi Allah titipkan buat kita. Kita begitu faqir di
hadapan Allah swt. Seperti itulah Allah nyatakan dalam surah Faathir ayat 15
sampai 17, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah
yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia
menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru
(untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi
Allah.”
Menyadari bahwa syurga tak akan termasuki hanya
dengan amal yang sedikit
Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita
bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam
syurga. Fikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal.
Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. “Pasti, pasti saya akan
masuk syurga,” begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri
sudah lebih dari cukup.
Namun, ketika perbandingan nilai dilayangkan
jauh ke generasi sahabat Rasul, kita akan melihat pemandangan lain. Bahawa,
para generasi sekaliber sahabat pun tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk
syurga. Dan seperti itulah dasar pijakan mereka ketika ada order-order baru
yang diperintahkan Rasulullah.
Begitulah ketika turun perintah hijrah. Mereka
menatap segala bayang-bayang suram soal sanak keluarga yang ditinggal, harta
yang pasti akan disita, dengan satu harapan: Allah pasti akan memberikan
balasan yang terbaik. Dan itu adalah pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu
pun ketika secara tidak disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan pasukan
yang tiga kali lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan taruhan saat
itu bukan hal nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka tempuh demi menyongsong
investasi besar, meraih syurga.
Begitulah Allah menggambarkan mereka dalam surah
Al-baqarah ayat 214. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum
kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat.”
Menyadari bahwa azab Allah teramat pedih
Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika
semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak
istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak
ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: syurga atau
neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya,
dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka
pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. 80: 34-37)
Mulailah bayang-bayang pedihnya siksa neraka
tergambar jelas. Kematian di dunia cuma sekali. Sementara, di neraka orang
tidak pernah mati. Selamanya merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya.
Seperti apa siksa neraka, Rasulullah saw pernah menggambarkan sebuah contoh
siksa yang paling ringan.
“Sesungguhnya seringan-ringan siksa penghuni
neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya diletakkan
dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya. Sedangkan ia berpendapat bahwa
tidak ada seorang pun yang lebih berat siksaannya daripada itu, padahal itu
adalah siksaan yang paling ringan bagi penghuni neraka.” (Bukhari dan Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar